Pulau Pari, salah satu permata kecil di Kepulauan Seribu, Jakarta, menjadi simbol nyata dari benturan antara kepentingan ekonomi kapitalistik dan keberlanjutan ekologi. Bagi masyarakat setempat, laut dan pesisir bukan sekadar lanskap alam, melainkan sumber kehidupan yang menyatu dengan identitas sosial dan budaya mereka. Namun kini, keindahan dan keseimbangan ekosistem tersebut terancam oleh praktik eksploitasi, privatisasi lahan, dan pembangunan yang berorientasi pada keuntungan semata.
Sistem ekonomi kapitalisme yang menempatkan alam sebagai komoditas utama telah menciptakan ketimpangan ekologis dan sosial. Dalam paradigma kapitalistik, laut dan pesisir dipandang sebagai sumber daya yang harus dieksploitasi demi pertumbuhan ekonomi, bukan sebagai amanah yang harus dijaga keseimbangannya. Hal ini tampak dalam berbagai proyek pembangunan, reklamasi, serta penerbitan izin Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (SK KKPRL) yang lebih menguntungkan investor ketimbang masyarakat lokal. Akibatnya, masyarakat Pulau Pari menghadapi kehilangan ruang hidup, degradasi ekosistem, dan ancaman krisis iklim yang kian nyata.
Kapitalisme lingkungan ini juga melahirkan ketidakadilan ekologis: pihak yang paling sedikit menikmati hasil pembangunan justru menjadi pihak yang paling menderita akibat kerusakan lingkungan. Pola eksploitasi ini mempertegas bahwa sistem kapitalisme gagal menghadirkan keseimbangan antara kemakmuran dan kelestarian, karena orientasinya semata pada akumulasi modal dan kepentingan korporasi global.
Sebaliknya, Islam menawarkan paradigma alternatif yang berlandaskan pada nilai keadilan (‘adl), keseimbangan (mīzān), dan amanah terhadap alam. Dalam pandangan Islam, bumi dan seluruh isinya adalah milik Allah ﷻ, sementara manusia hanya bertugas sebagai khalifah (QS. Al-Baqarah: 30) yang wajib menjaga dan memakmurkan bumi tanpa melakukan kerusakan (QS. Al-A’raf: 56). Prinsip ini menegaskan bahwa pengelolaan sumber daya alam harus berorientasi pada kemaslahatan bersama, bukan keuntungan segelintir pihak.
Solusi dalam perspektif Islam mencakup beberapa prinsip penting:
1. Reformasi tata kelola sumber daya berbasis amanah, di mana negara wajib menjadi pelindung hak publik dan bukan fasilitator kepentingan kapital.
2. Penerapan sistem ekonomi berbasis keadilan sosial, misalnya melalui larangan monopoli, riba, dan eksploitasi yang merusak keseimbangan alam.
3. Penguatan peran masyarakat lokal sebagai pemilik hak atas sumber daya pesisir, dengan prinsip syura (musyawarah) dalam setiap keputusan pengelolaan lingkungan.
4. Pembangunan berkelanjutan yang berorientasi pada maqāṣid al-syarī‘ah, yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta, termasuk dalam konteks ekologi.
Dengan paradigma Islam yang menempatkan manusia sebagai penjaga bumi, pembangunan tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan keseimbangan alam. Pemerintah perlu meninjau ulang izin-izin eksploitasi laut dan pulau kecil, serta menerapkan kebijakan berbasis rahmatan lil ‘alamin, yang membawa keberkahan bagi manusia dan lingkungan.
Pulau Pari seharusnya tidak menjadi korban sistem ekonomi yang rakus, melainkan teladan penerapan tata kelola lingkungan yang adil, beretika, dan berlandaskan nilai ilahiah. Hanya dengan meninggalkan paradigma kapitalisme eksploitatif dan kembali pada prinsip Islam yang holistik, keseimbangan antara kesejahteraan manusia dan kelestarian alam dapat benar-benar terwujud.
Anis Kamila S.Pd
Tenaga pendidik

No comments:
Post a Comment