Oleh : Niken Lestari
Air adalah sumber kehidupan. Tanpa air, tidak ada kehidupan yang dapat bertahan di bumi. Namun, kini ironisnya, air yang seharusnya menjadi milik bersama justru telah berubah menjadi komoditas yang diperebutkan oleh korporasi besar. Di berbagai daerah, banyak mata air alami dan sumber air tanah dikuasai oleh perusahaan air minum dalam kemasan. Mereka mengebor tanah dalam-dalam untuk mengisap air dari akuifer yang selama ini menjadi penopang kehidupan masyarakat sekitar.
Dampak dari praktik ini sungguh nyata. Pengambilan air tanah secara besar-besaran menyebabkan penurunan muka air tanah, hilangnya mata air di sekitar pabrik, serta munculnya potensi amblesan tanah. Masyarakat di sekitar sumber air justru menjadi korban: sumur mereka mengering, akses terhadap air bersih semakin sulit, dan lingkungan mereka rusak. Ironis, di tengah melimpahnya sumber daya air, rakyat justru harus membeli air dalam galon dengan harga tinggi—dari perusahaan yang mengambil air di tanah mereka sendiri.
Fenomena ini adalah wajah nyata dari sistem ekonomi kapitalistik yang menempatkan keuntungan di atas kemaslahatan. Air, yang semestinya menjadi hak dasar setiap manusia, dijadikan barang dagangan. Perusahaan mencari celah dalam lemahnya regulasi dan pengawasan pemerintah. Dewan Sumber Daya Air Nasional dan Direktorat Jenderal Sumber Daya Air di bawah Kementerian PUPR seolah tak berdaya menghentikan arus kapitalisasi air. Akibatnya, sumber daya alam yang mestinya dijaga bersama justru dikuasai segelintir pihak demi kepentingan ekonomi.
Dalam pandangan Islam, praktik seperti ini jelas keliru. Rasulullah ﷺ bersabda
الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ فِي الْمَاءِ وَالْكَلَإِ وَالنَّارِ وَثَمَنُهُ حَرَامٌ
bahwa manusia berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api. Artinya, air adalah milik publik—bukan milik individu atau korporasi.
أَفَرَءَيْتُمُ ٱلْمَآءَ ٱلَّذِى تَشْرَبُونَ ٦٨
ءَأَنتُمْ أَنزَلْتُمُوهُ مِنَ ٱلْمُزْنِ أَمْ نَحْنُ ٱلْمُنزِلُونَ ٦٩
لَوْ نَشَآءُ جَعَلْنَـٰهُ أُجَاجًۭا فَلَوْلَا تَشْكُرُونَ ٧٠
Selain dari itu, tidakkah kamu melihat air yang kamu minum?
Kamukah yang menurunkannya dari awan (sebagai hujan), atau Kami yang menurunkannya?
Kalau Kami kehendaki, Kami akan jadikan dia masin, maka ada baiknya kalau kamu bersyukur.
(Q.S. Al Waqiah: 68-80)
Artinya , Allah mengingatkan bahwa air adalah ciptaan-Nya yang tidak dapat diciptakan manusia. Maka manusia tidak berhak mengklaim kepemilikan atasnya, apalagi memonopoli sumber air yang menjadi kebutuhan hidup semua orang.
Maka negara dalam sistem Islam berkewajiban mengelola sumber daya air untuk kemaslahatan seluruh masyarakat, bukan menyerahkannya pada mekanisme pasar. Bisnis dalam Islam harus dijalankan dengan kejujuran, tidak boleh menzalimi masyarakat atau merusak lingkungan. Karena itu, pengelolaan sumber daya alam harus dilakukan secara adil, transparan, dan berorientasi pada kemaslahatan, bukan keuntungan semata.
Sudah saatnya bangsa ini meninjau ulang paradigma pengelolaan air. Air bukanlah komoditas ekonomi, melainkan amanah Allah yang harus dijaga bersama. Negara mesti hadir sebagai pelindung, bukan sekadar regulator yang lemah terhadap tekanan korporasi. Dengan paradigma Islam, air dapat kembali menjadi sumber keberkahan, bukan sumber penderitaan.
Hanya dengan sistem Islam kaffah dalam bingkai khilafah syariat Islam akan mampu di terapkan secara sempurna, yang akan membawa kesejahteraan dan menjamin ketersediaan air sebagai hak hidup setiap manusia, bukan komoditas ekonomi yang hanya menguntungkan segelintir orang.
Wa'allahu 'alam bishowab

No comments:
Post a Comment